Suami pemabuk adalah salah satu masalah yang sering dihadapi oleh para istri. Selain merugikan kesehatan dan keuangan, kebiasaan buruk ini juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi keharmonisan rumah tangga. Tidak jarang, suami pemabuk menjadi kasar, tidak bertanggung jawab, bahkan berbuat zina. Bagaimana jika istri sudah tidak tahan lagi dan ingin bercerai? Apakah hal itu diperbolehkan oleh hukum dan agama?
Alasan Perceraian Menurut Hukum dan Agama
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Perceraian hanya dapat dilakukan di pengadilan setelah semua upaya untuk menjaga keutuhan rumah tangga telah gagal.
UU Perkawinan juga mengatur beberapa alasan yang dapat menjadi dasar perceraian, antara lain:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
- Di antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Sementara itu, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, perceraian juga dapat terjadi karena alasan-alasan tambahan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu:
- Suami melanggar taklik talak.
- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Prosedur Perceraian di Pengadilan
Bagi istri yang ingin menggugat cerai suaminya karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, ia harus mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan yang berwenang. Jika perkawinan dilangsungkan menurut hukum Islam, maka gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan Agama. Jika perkawinan dilangsungkan menurut hukum non-Islam, maka gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan Negeri.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh istri yang menggugat cerai suaminya adalah sebagai berikut:
- Melampirkan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) penggugat dan tergugat.
- Melampirkan fotokopi buku nikah (untuk perkawinan Islam) atau akta perkawinan (untuk perkawinan non-Islam).
- Melampirkan fotokopi akta kelahiran anak (jika ada dan meminta hak asuh anak).
- Melampirkan fotokopi kartu keluarga (KK).
- Menyiapkan dua orang saksi yang mengetahui perkawinan dan alasan perceraian.
Setelah mengajukan gugatan perceraian, penggugat dan tergugat akan dipanggil oleh pengadilan untuk menghadiri sidang mediasi. Tujuan dari sidang mediasi adalah untuk mencari jalan damai antara kedua belah pihak dan mencegah terjadinya perceraian. Jika mediasi berhasil, maka perkara akan dihentikan. Jika mediasi gagal, maka perkara akan dilanjutkan ke sidang pemeriksaan.
Dalam sidang pemeriksaan, penggugat dan tergugat akan dimintai keterangan oleh hakim mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara. Hakim juga akan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan ahli yang dihadirkan oleh kedua belah pihak. Selain itu, hakim juga akan memeriksa alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak, seperti surat, foto, rekaman, dan lain sebagainya.
Setelah mengadakan pemeriksaan, hakim akan memutuskan apakah perkara dapat dikabulkan atau ditolak. Jika perkara dikabulkan, maka hakim akan mengeluarkan putusan perceraian yang berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan akibat perceraian, seperti hak asuh anak, nafkah, pembagian harta, dan lain sebagainya. Jika perkara ditolak, maka perkawinan antara penggugat dan tergugat tetap berlangsung.
Hukum Talak dalam Keadaan Mabuk
Selain perceraian yang diajukan oleh istri, perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam juga dapat putus karena talak yang dijatuhkan oleh suami. Talak adalah ikrar suami di hadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Talak hanya dapat dilakukan oleh suami dengan syarat-syarat tertentu, seperti adanya alasan yang sah, adanya saksi, dan adanya pembayaran mahar.
Namun, bagaimana jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan mabuk? Apakah talak tersebut sah dan berlaku? Menurut mayoritas ulama ahli fikih (fuqaha), talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan mabuk dianggap sah dan berlaku. Mengingat bahwa rusaknya akalnya atau hilangnya kesadarannya adalah akibat kehendak dan perbuatannya sendiri. Oleh karena itu, ia harus bertanggung jawab atas akibat dari ucapan dan perbuatannya.
Namun, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan mabuk tidak sah dan tidak berlaku. Mengingat bahwa talak adalah perkara yang serius dan membutuhkan kesadaran dan kehendak yang kuat dari suami. Oleh karena itu, talak yang diucapkan dalam keadaan tidak sadar atau tidak menghendaki tidak dapat dianggap sebagai talak.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa istri dapat menggugat cerai suaminya yang pemabuk dan kerap melakukan kekejaman atau kekerasan. Hal ini diperbolehkan oleh hukum dan agama, asalkan ada alasan yang cukup dan prosedur yang benar. Namun, sebelum mengambil langkah perceraian, sebaiknya istri mencoba untuk menasehati, membantu, dan menyembuhkan suaminya dari kebiasaan buruknya. Karena perceraian adalah pilihan terakhir yang harus dihindari sebisa mungkin.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.