Sebuah perusahaan di Jakarta memberlakukan aturan yang kontroversial bagi karyawannya. Setiap karyawan yang bekerja secara kontrak tidak boleh menikah dan hamil selama masa kontrak berlangsung. Jika melanggar, maka kontrak kerja akan diakhiri dan tidak diperpanjang. Bahkan, karyawan yang bersangkutan harus membuat surat pernyataan bermaterai yang menyatakan kesediaannya untuk tunduk pada aturan tersebut.
Aturan ini tentu saja menimbulkan protes dan keberatan dari banyak pihak, terutama karyawan perempuan yang merasa hak-hak mereka sebagai wanita dilanggar. Mereka menganggap bahwa menikah dan hamil adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi oleh siapa pun, termasuk perusahaan. Apalagi, mereka merasa tidak adanya jaminan kesejahteraan dan perlindungan dari perusahaan jika mereka mengalami masalah kesehatan atau kecelakaan kerja.
Namun, perusahaan bersikukuh bahwa aturan tersebut dibuat demi kepentingan bisnis dan efisiensi kerja. Menurut mereka, karyawan yang menikah dan hamil akan mengalami penurunan produktivitas dan kinerja, serta meningkatkan biaya operasional perusahaan. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa karyawan yang bekerja secara kontrak sudah mengetahui risiko dan konsekuensi yang harus mereka tanggung, sehingga tidak ada alasan untuk mengeluh atau menuntut hak-hak yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja.
Lantas, bagaimana pandangan hukum terkait larangan menikah dan hamil selama kontrak kerja ini? Apakah aturan tersebut sah dan adil bagi karyawan dan perusahaan? Ataukah aturan tersebut melanggar hukum dan hak asasi manusia?
Larangan Menikah dan Hamil Selama Kontrak Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan dan perusahaan dalam hubungan kerja. UU Ketenagakerjaan ini juga telah mengalami beberapa perubahan dan penambahan melalui Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 6 Tahun 2021.
Dalam UU Ketenagakerjaan, tidak ada kewenangan bagi perusahaan untuk membuat perjanjian kerja yang memuat ketentuan larangan menikah dan hamil selama masa kontrak kerja. Justru sebaliknya, UU Ketenagakerjaan secara tegas melarang perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan karyawan menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf d dan e UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga menyatakan bahwa PHK yang dilakukan karena alasan karyawan menikah atau hamil adalah batal demi hukum dan perusahaan wajib mempekerjakan kembali karyawan yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, terlihat bahwa pernikahan maupun kehamilan bukanlah alasan yang sah berdasarkan hukum untuk digunakan sebagai alasan memberhentikan karyawan. Jadi, larangan menikah dan hamil selama masa kontrak kerja bagi karyawan juga tidak beralasan hukum.
Larangan Menikah dan Hamil Selama Kontrak Kerja Menurut UU HAM
Selain UU Ketenagakerjaan, kita juga perlu mengacu pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap orang sebagai manusia. UU HAM ini juga merupakan salah satu dasar hukum negara yang tertuang dalam UUD 1945.
Dalam UU HAM, setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Hal ini diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU HAM. Jika dihubungkan dengan UU Ketenagakerjaan, karyawan berhak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil, dalam hal ini untuk tidak dilarang menikah dan hamil, serta tidak di-PHK atas alasan tersebut.
Bahkan lebih lanjut, UU HAM juga memberikan perlindungan khusus kepada karyawan perempuan dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksinya. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (2) UU HAM.
Jadi, menjawab pertanyaan-pertanyaan di awal, adanya larangan menikah dan hamil selama masa kontrak kerja adalah bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia. Aturan tersebut tidak sah dan tidak adil bagi karyawan dan perusahaan. Karyawan yang merasa dirugikan oleh aturan tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial atau lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial lainnya.
Saran dan Solusi bagi Karyawan dan Perusahaan
Meskipun demikian, kita juga perlu memahami bahwa perusahaan memiliki hak untuk menentukan syarat-syarat kerja yang sesuai dengan kepentingan bisnis dan efisiensi kerja. Perusahaan juga memiliki hak untuk menilai kinerja dan produktivitas karyawan secara objektif dan profesional. Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan dan kerjasama antara karyawan dan perusahaan dalam menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan produktif.
Berikut adalah beberapa saran dan solusi yang dapat dilakukan oleh karyawan dan perusahaan untuk mengatasi masalah larangan menikah dan hamil selama kontrak kerja:
- Karyawan harus membaca dan memahami isi perjanjian kerja sebelum menandatanganinya. Jika ada ketentuan yang dirasa tidak adil atau merugikan, karyawan dapat menolak atau menawar perjanjian tersebut. Jika perusahaan bersikeras, karyawan dapat mencari pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan hak dan kepentingannya.
- Karyawan harus berkomunikasi dengan perusahaan secara terbuka dan jujur tentang rencana atau kondisi pernikahan atau kehamilan. Karyawan dapat menjelaskan alasan dan tujuannya, serta memberikan jaminan bahwa hal tersebut tidak akan mengganggu kinerja dan produktivitasnya. Karyawan juga dapat meminta kelonggaran atau penyesuaian waktu kerja, cuti, atau fasilitas lainnya yang dibutuhkan.
- Perusahaan harus menghormati dan menghargai hak-hak karyawan sebagai manusia dan sebagai pekerja. Perusahaan tidak boleh membuat aturan yang diskriminatif, represif, atau eksploitatif terhadap karyawan. Perusahaan harus memberikan perlindungan dan kesejahteraan yang layak kepada karyawan, terutama yang berkaitan dengan fungsi reproduksi karyawan perempuan.
- Perusahaan harus berkomunikasi dengan karyawan secara terbuka dan jujur tentang kebijakan dan tujuan perusahaan. Perusahaan dapat menjelaskan alasan dan dasar hukum perusahaan dalam menentukan syarat-syarat kerja, menilai kinerja, dan melakukan PHK. Perusahaan juga dapat memberikan kesempatan atau insentif kepada karyawan yang menunjukkan kinerja dan produktivitas yang baik.
Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta hubungan kerja yang harmonis dan produktif antara karyawan dan perusahaan, tanpa mengorbankan hak-hak dan kepentingan masing-masing pihak. Larangan menikah dan hamil selama kontrak kerja bukanlah solusi yang tepat, melainkan masalah yang harus diselesaikan dengan bijak dan adil.