jlk – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, terdapat sebuah kisah yang layaknya pohon zaitun di tanah Yerusalem, berakar kuat dalam sejarah dan menghadapi angin perubahan zaman.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, seperti seorang penjelajah yang berani, mengumumkan niatnya untuk mengubah status quo Masjid Al Aqsa, sebuah langkah yang menimbulkan gelombang kekhawatiran dan protes dari berbagai penjuru.
Dialog Antar-Iman atau Resep Konflik?
Masjid Al Aqsa, yang berdiri megah dengan kubahnya yang berkilauan, telah lama menjadi simbol persatuan bagi umat Islam.
Namun, Ben-Gvir, dengan semangat yang mungkin hanya bisa disamakan dengan keberanian David melawan Goliath, berencana memberikan hak ibadah kepada umat Yahudi di lokasi yang sama.
Ini bukanlah sekadar perubahan kebijakan, melainkan sebuah tarian di atas tali yang membentang di antara harmoni dan ketegangan.
Keseimbangan yang Rapuh
Status quo yang ada, seperti resep yang telah diuji oleh waktu, menetapkan bahwa hanya umat Islam yang boleh beribadah di Masjid Al Aqsa.
Dewan Wakaf Islam, sebagai koki yang menjaga resep tersebut, telah mengecam rencana Ben-Gvir sebagai “pelanggaran mencolok” yang dapat mengubah bumbu keseimbangan menjadi racun konflik.
Menjaga Warisan
Dalam pernyataannya, Dewan Wakaf Islam menyerukan kepada dunia untuk menjaga status agama, sejarah, dan hukum yang telah lama berlaku di Masjid Al Aqsa.
Mereka mengingatkan kita bahwa seperti sebuah tapestri yang indah, warisan ini harus dijaga agar tidak terkoyak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Kesimpulan Bijak
Sebagai penutup, mari kita renungkan kata-kata bijak dari Rumi, “Di luar ide tentang benar dan salah, ada sebuah padang rumput. Aku akan bertemu kamu di sana.”
Semoga kita semua dapat menemukan padang rumput perdamaian itu, di mana dialog dan pengertian dapat mekar seperti bunga-bunga di tanah yang subur.