Potensi Lithium di Lumpur Lapindo: Antara Harapan dan Realitas

Yudha Cilaros By Yudha Cilaros
6 Min Read
Potensi Lithium di Lumpur Lapindo: Antara Harapan dan Realitas
Potensi Lithium di Lumpur Lapindo: Antara Harapan dan Realitas

Lumpur Lapindo, yang terkenal sebagai bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, ternyata menyimpan potensi mineral yang menarik perhatian dunia. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat adanya indikasi kandungan lithium (Li) dan strontium (Sr) di lumpur tersebut. Lithium dan strontium adalah mineral kritis yang digunakan untuk pengembangan kendaraan listrik (EV) dan kebutuhan elektronik. Lithium, khususnya, merupakan bahan baku utama untuk pembuatan baterai kendaraan listrik, yang permintaannya terus meningkat seiring dengan tren mobilitas ramah lingkungan.

Namun, seberapa besar potensi lithium di lumpur Lapindo? Apakah Indonesia bisa menjadi produsen lithium yang mampu bersaing di pasar global? Dan apa tantangan dan hambatan yang dihadapi untuk mengoptimalkan pemanfaatan lithium di lumpur Lapindo? Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggunakan data dan fakta yang akurat dan terkini.

Potensi Lithium di Lumpur Lapindo

Berdasarkan penyelidikan umum yang dilakukan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM, kandungan lithium di lumpur Lapindo memiliki kadar antara 99,26-280,46 ppm (part per million), dan strontium dengan kadar 255,44 – 650,49 ppm. Kadar lithium ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata kadar lithium di dunia, yaitu sekitar 20 ppm. Namun, jumlah deposit lithium di lumpur Lapindo diperkirakan hanya sekitar 1.000 ton, dengan asumsi volume lumpur sekitar 4 juta meter kubik. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan cadangan lithium terbesar di dunia, yaitu di Bolivia, yang mencapai 21 juta ton.

Selain itu, proses ekstraksi lithium dari lumpur Lapindo juga belum teruji secara komersial. Badan Geologi Kementerian ESDM masih melakukan penelitian dan pengembangan untuk menemukan metode yang efektif dan efisien untuk memisahkan lithium dari lumpur. Salah satu metode yang sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan membran nano, yang diklaim mampu meningkatkan konsentrasi lithium hingga 10 kali lipat. Namun, metode ini masih membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu yang lama untuk dapat diaplikasikan secara skala industri.

- Advertisement -

Prospek Lithium di Pasar Global

Meskipun potensi lithium di lumpur Lapindo tidak signifikan, Indonesia tetap memiliki peluang untuk mengembangkan industri lithium dan baterai kendaraan listrik di masa depan. Hal ini karena Indonesia memiliki sumber daya mineral lain yang juga penting untuk pembuatan baterai, yaitu nikel. Nikel merupakan bahan baku untuk pembuatan katoda baterai, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan energi. Indonesia merupakan produsen dan eksportir nikel terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 760.000 ton pada tahun 2020.

Indonesia juga telah berupaya untuk mengembangkan industri hilir nikel, yaitu dengan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel, serta pabrik baterai kendaraan listrik. Pemerintah telah menetapkan target untuk memproduksi 140 gigawatt-hour (GWh) baterai kendaraan listrik per tahun pada tahun 2030, yang setara dengan 10% dari pasar global. Untuk mencapai target ini, pemerintah telah menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan multinasional, seperti LG, CATL, dan Tesla, untuk membangun pabrik baterai di Indonesia.

Selain itu, pemerintah juga telah mengamankan pasokan lithium dari sejumlah negara produsen utama, seperti Australia, China, dan Chili. Pemerintah berencana untuk mengimpor lithium dalam bentuk hidroksida, yang lebih mudah diolah menjadi baterai daripada dalam bentuk karbonat. Dengan demikian, Indonesia bisa memanfaatkan keunggulan komparatifnya sebagai produsen nikel, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor lithium.

Tantangan dan Hambatan

Meskipun memiliki prospek yang cerah, pengembangan industri lithium dan baterai kendaraan listrik di Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Salah satunya adalah masalah lingkungan. Proses penambangan dan pengolahan nikel dan lithium dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, seperti pencemaran air, tanah, dan udara, serta kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dan regulasi yang ketat dari pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap standar lingkungan yang berlaku.

Selain itu, tantangan lain adalah masalah sosial. Penambangan dan pengolahan nikel dan lithium dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal, terutama terkait dengan hak atas tanah, kompensasi, dan kesejahteraan. Oleh karena itu, perlu adanya keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan dan pembagian manfaat dari industri tersebut. Selain itu, perlu juga adanya upaya untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan sumber daya manusia lokal untuk dapat berpartisipasi dalam industri tersebut.

- Advertisement -

Lumpur Lapindo, yang dikenal sebagai bencana semburan lumpur panas, ternyata memiliki potensi mineral lithium dan strontium yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kendaraan listrik dan kebutuhan elektronik. Namun, potensi lithium di lumpur Lapindo tidak signifikan, dan proses ekstraksinya juga belum teruji secara komersial. Indonesia tetap memiliki peluang untuk mengembangkan industri lithium dan baterai kendaraan listrik dengan memanfaatkan sumber daya nikel yang melimpah, serta mengamankan pasokan lithium dari negara-negara produsen utama. Namun, pengembangan industri tersebut juga harus memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, serta meningkatkan keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Share This Article