Produksi Beras kacau, Apa Kabar Swasembada Beras RI?

Yudha Cilaros By Yudha Cilaros
5 Min Read
Produksi Beras kacau, Apa Kabar Swasembada Beras RI?
Produksi Beras kacau, Apa Kabar Swasembada Beras RI?

Beras merupakan komoditas pangan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Ketersediaan beras yang mencukupi kebutuhan nasional menjadi salah satu indikator ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, apa jadinya jika produksi beras mengalami penurunan drastis, sementara impor beras terus meningkat? Apakah Indonesia masih bisa menyandang status swasembada beras, ataukah harus menghadapi krisis pangan yang mengancam?

Fakta Menyedihkan Produksi Beras RI

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras Indonesia pada tahun 2023 mengalami penurunan sebesar 5,8% dibandingkan tahun 2022, dari 31,54 juta ton menjadi 29,71 juta ton. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

  • Fenomena cuaca ekstrem El Nino yang menyebabkan kemarau panjang dan kekeringan di sejumlah daerah sentra produksi beras, seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
  • Serangan hama dan penyakit tanaman padi, seperti wereng coklat, penggerek batang, blas, dan tungro, yang menurunkan produktivitas dan kualitas beras.
  • Konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, seperti perumahan, industri, dan infrastruktur, yang mengurangi luas areal tanam padi.
  • Rendahnya adopsi teknologi dan inovasi pertanian, seperti varietas unggul, pupuk, pestisida, irigasi, dan mekanisasi, yang berdampak pada efisiensi dan efektivitas usaha tani.

Dampak Buruk Impor Beras

Di sisi lain, konsumsi beras dalam negeri terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perubahan pola makan. Data BPS menunjukkan, konsumsi beras per kapita pada tahun 2023 mencapai 114,6 kg, naik 1,4% dari tahun 2022 yang sebesar 113 kg. Dengan demikian, kebutuhan beras nasional pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 35,5 juta ton, atau lebih tinggi 5,79 juta ton dari produksi beras.

Untuk menutup defisit beras tersebut, pemerintah mengambil kebijakan impor beras dari negara-negara produsen beras, seperti Vietnam, Thailand, India, dan Pakistan. Rencana volume impor beras tahun 2023 melonjak 365% dibanding 2022 (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pemerintah beralasan, impor beras dilakukan untuk menjaga stabilitas harga dan stok beras di pasar, serta untuk mengantisipasi dampak El Nino.

- Advertisement -

Namun, kebijakan impor beras ini menuai banyak kritik dan kontroversi, baik dari kalangan petani, akademisi, maupun masyarakat umum. Beberapa dampak buruk yang ditimbulkan oleh impor beras, antara lain:

  • Merugikan petani lokal, karena harga beras impor lebih murah dan bersaing dengan harga beras lokal, sehingga menurunkan daya beli dan kesejahteraan petani.
  • Mengurangi kemandirian dan kedaulatan pangan nasional, karena bergantung pada pasokan beras dari negara lain, yang sewaktu-waktu bisa berubah atau terhenti karena faktor politik, ekonomi, atau sosial.
  • Membahayakan kesehatan konsumen, karena beras impor berpotensi mengandung bahan kimia berbahaya, seperti formalin, boraks, atau pestisida, yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan keamanan pangan Indonesia.

Upaya Mewujudkan Swasembada Beras

Swasembada beras merupakan label bagi negara yang berhasil memenuhi 90 persen kebutuhan nasional. Menurut definisi Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia telah mencapai status swasembada beras pada periode 2019-2021, dan bahkan mendapatkan penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) karena memiliki sistem ketahanan pangan yang baik.

Namun, dengan kondisi produksi beras yang menurun dan impor beras yang meningkat, status swasembada beras Indonesia terancam dicabut. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya nyata dan konkret untuk mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan, antara lain:

  • Meningkatkan produktivitas dan kualitas beras melalui pengembangan dan penyebarluasan varietas unggul, peningkatan penggunaan pupuk dan pestisida organik, perbaikan sistem irigasi dan drainase, serta penerapan mekanisasi dan digitalisasi pertanian.
  • Melindungi lahan pertanian dari ancaman konversi, degradasi, dan bencana alam, melalui pemberian insentif dan perlindungan hukum bagi petani, penegakan peraturan zonasi dan tata ruang, serta penguatan kapasitas adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
  • Mengurangi ketergantungan pada impor beras, melalui pengendalian dan pengawasan ketat terhadap volume, kualitas, dan distribusi beras impor, peningkatan diversifikasi pangan lokal, serta penumbuhan kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap beras lokal.

Produksi beras yang ambruk dan impor beras yang melonjak merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam mewujudkan swasembada beras. Namun, dengan kerja sama dan komitmen bersama dari semua pihak, baik pemerintah, petani, industri, peneliti, maupun masyarakat, swasembada beras bukanlah hal yang mustahil. Mari kita dukung dan berkontribusi dalam upaya mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan demi ketahanan pangan dan kesejahteraan bangsa.

Share This Article