ORIDA, Mata Uang yang Menjadi Saksi Sejarah Perjuangan Bangsa

Alvin Karunia By Alvin Karunia
9 Min Read
rupiah, currency, money
Photo by IqbalStock on Pixabay

Mata uang adalah salah satu simbol kedaulatan sebuah negara. Dengan mata uang, negara dapat mengatur perekonomian, mengendalikan inflasi, dan menunjukkan identitas bangsa. Namun, di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, mata uang bukanlah hal yang mudah untuk dimiliki.

Pada saat itu, Indonesia harus berhadapan dengan berbagai macam mata uang yang beredar, baik yang berasal dari penjajah maupun dari pemerintah sendiri. Salah satu mata uang yang pernah mewarnai perjalanan Indonesia adalah ORIDA, singkatan dari Oeang Republik Indonesia Daerah.

ORIDA adalah mata uang daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi atau kabupaten, sebagai bentuk penolakan terhadap mata uang NICA yang diterbitkan oleh pemerintah Belanda. ORIDA juga menjadi alat pembayaran sementara, karena keterbatasan ORI (Oeang Republik Indonesia) yang menjadi mata uang resmi Republik Indonesia.

Lalu, bagaimana sejarah terbentuknya ORIDA? Apa makna dan nilai yang terkandung di dalamnya? Dan bagaimana nasib ORIDA setelah Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya? Berikut ulasannya.

- Advertisement -

Latar Belakang Terbentuknya ORIDA

ORIDA tidak terlepas dari sejarah terbentuknya ORI, yang merupakan mata uang pertama Republik Indonesia. ORI dikeluarkan oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui Surat Keputusan No.SS/1/25 tanggal 29 Oktober 1946. ORI secara resmi berlaku pada 30 Oktober 1946 sebagai mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia.

ORI terbentuk sebagai respons pemerintah atas beredarnya mata uang bentukan pemerintah Belanda, melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Mata uang yang dimaksud kerap disebut Uang NICA atau ‘Uang Merah’.

Peredaran Uang Merah ini cukup mulus di awal-awal NICA masuk Indonesia. Pasalnya, NICA langsung memperoleh akses kantor-kantor bank Jepang pada 10 Oktober 1945. Bank bentukan Jepang ini kemudian ditutup, dan NICA menghidupkan kembali DJB (De Javasche Bank) yang bertugas sebagai bank sirkulasi.

Pada 6 Maret 1946, NICA secara resmi mulai mengedarkan dan menetapkan Uang Merah sebagai alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan. Untuk mengedarkannya, pemerintah pendudukan Belanda tak jarang melakukan pemaksaan.

Meski, saat itu rakyat kebanyakan hanya mau menerima rupiah Jepang, pemerintah pendudukan Belanda memaksa masyarakat untuk menukarkannya dengan Uang Merah. Tak jarang pemaksaan tersebut dilakukan dengan todongan senjata.

- Advertisement -

Menyingkapi peredaran uang NICA yang kian meluas, pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pada 15 Maret 1946, pemerintah mengeluarkan maklumat, yang menyatakan bahwa masyarakat yang kedapatan memegang Uang Merah akan mendapatkan hukuman berat.

Mengutip kemenkeu.go.id, menanggapi peredaran mata uang bentukan NICA, pemerintah memutuskan menarik peredaran beberapa uang, yakni uang DJB, uang rupiah Jepang dan Uang Merah. Saat itu, penduduk hanya diperbolehkan memegang maksimal 50 sen rupiah Jepang.

Penarikan peredaran uang ini diikuti oleh upaya pemerintah Indonesia mempersiapkan mata uang sendiri. Upaya ini menghasilkan Oeang Republik Indonesia (ORI) atau ‘Uang Putih’.

- Advertisement -

Namun, dalam perjalanannya, ORI mengalami berbagai kendala, baik dari segi produksi, distribusi, maupun nilai tukar. ORI yang dicetak di pabrik kopi di Yogyakarta ini tidak memiliki tanda pengaman, sehingga mudah dipalsukan oleh pihak Belanda.

Selain itu, ORI juga sulit menjangkau seluruh wilayah Indonesia, karena faktor perhubungan dan keamanan.

Akibatnya, ORI mengalami inflasi yang tinggi, dan nilai tukarnya terus menurun terhadap Uang Merah. Pada saat Agresi Militer Belanda II, nilai ORI turun tajam, dengan perbandingan butuh 500 ORI untuk menebus 1 florin Uang Merah.

ORIDA, Mata Uang Alternatif yang Menopang Kedaulatan Indonesia

Melihat kondisi ORI yang semakin memburuk, pemerintah pusat kemudian memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 1947, yang dikeluarkan pada 26 Oktober 1947.

PP ini juga menjamin seluruh penerbitan mata uang daerah tersebut, serta menjamin bahwa mata uang daerah yang diterbitkan dapat ditukarkan dengan ORI. Dengan demikian, ORIDA resmi lahir sebagai mata uang alternatif yang menopang kedaulatan Indonesia.

Meski secara resmi ORIDA mendapatkan legalitas pada 26 Oktober 1947, namun ide ini telah muncul dan dijalankan sebelum pemerintah pusat mengeluarkan PP yang menjamin legalitasnya.

ORIDA yang pertama kali terbit adalah ORIPS atau Oeang Republik Indonesia Provinsi Sumatera pada 11 April 1947. Adapun penggagas ORIDA pertama tersebut adalah Tengku Mohammad Hasan, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Sumatera.

Nilai ORIDA ini setara dengan 1 ORI dan mempunyai empat pecahan, yaitu Rp 1, Rp 5, Rp 10, serta Rp 100. ORIPS pertama ini memiliki tanda pengaman, serta nomor seri untuk menjamin keaslian.

Pembubuhan tanda pengaman dan nomor seri diberikan, untuk menangkal upaya pemalsuan yang sebelumnya kerap dilakukan NICA untuk menghambat ORI.

Selain Sumatera, daerah lain yang juga menerbitkan ORIDA adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Masing-masing daerah memiliki desain, pecahan, dan nilai tukar yang berbeda-beda. Namun, semua ORIDA memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menegaskan kedaulatan Indonesia dan menolak mata uang penjajah.

Nasib ORIDA Setelah Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya, pemerintah pusat kemudian berupaya untuk menyatukan mata uang yang beredar di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengatasi inflasi, menghapus mata uang penjajah, dan menciptakan stabilitas moneter.

Pada 1950, pemerintah mengeluarkan UU No. 11/1950 tentang Bank Indonesia, yang menjadikan BI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi tunggal di Indonesia. Dengan demikian, BI berhak untuk menerbitkan dan mengedarkan mata uang yang sah di Indonesia.

Pada 1951, pemerintah mengeluarkan UU No. 28/1951 tentang Mata Uang Baru, yang menetapkan rupiah baru sebagai mata uang yang sah di Indonesia. Rupiah baru ini memiliki nilai tukar 1:1 dengan ORI, dan 1:2 dengan ORIDA.

Dengan demikian, ORIDA mulai ditarik dari peredaran, dan digantikan oleh rupiah baru. Proses penarikan ORIDA ini berlangsung hingga 1959, dengan total jumlah ORIDA yang berhasil ditarik mencapai Rp 1.029.000.000.

Meski ORIDA tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran, namun ORIDA tetap menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. ORIDA menunjukkan bagaimana rakyat Indonesia bersatu dan berani melawan penjajah, dengan menggunakan mata u

ang sendiri.

ORIDA, Sebuah Simbol Perjuangan

ORIDA mungkin hanya sejarah bagi generasi sekarang. Namun, bagi generasi yang pernah merasakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, ORIDA adalah simbol perjuangan dan kedaulatan bangsa. 

ORIDA menunjukkan bagaimana rakyat Indonesia, dengan segala keterbatasannya, mampu berdiri tegak dan berani melawan penjajah.

ORIDA juga menjadi bukti bahwa mata uang bukan hanya sekedar alat pembayaran, melainkan juga alat perjuangan. Dengan ORIDA, rakyat Indonesia menunjukkan bahwa mereka tidak takut dan tidak tergantung pada penjajah.

Mereka mampu menciptakan mata uang sendiri, dan menggunakan mata uang tersebut untuk membiayai perjuangan mereka.

Meski ORIDA kini telah digantikan oleh rupiah, namun semangat perjuangan yang terkandung di dalamnya tetap abadi. ORIDA menjadi saksi bisu bagaimana rakyat Indonesia, dengan segala keterbatasannya, mampu berjuang dan mempertahankan kemerdekaannya.

ORIDA, sebuah mata uang yang mungkin terlupakan, namun memiliki cerita dan makna yang mendalam. ORIDA, mata uang yang pernah mewarnai perjalanan Indonesia.


Demikianlah artikel tentang ORIDA, mata uang yang pernah mewarnai perjalanan Indonesia. Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan baru bagi Anda tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Terima kasih telah membaca. Sampai jumpa di artikel berikutnya.

Share This Article